Sejarah Hukum di Indonesia
SEJARAH SISTEM HUKUM DI
INDONESIA
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem
hukum Eropa, hukum agama, dan hukum adat. Sebagian besar sistem yang dianut,
baik perdata maupun pidana berbasis pada hukum Eropa, khususnya dari Belanda
karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan
sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum agama karena sebagian
besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau syariat
Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan, dan warisan.
Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat yang diserap dalam
perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan
dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di
wilayah Nusantara.
Sistem tata hukum yang digunakan sebelum 17 Agustus 1945
antara lain sistem hukum Hindia Belanda berupa sistem hukum Barat (Civil Law)
dan sistem hukum asli (Hukum adat). Sebelum Indonesia dijajah oleh Belanda,
Hukum yang digunakan untuk menyelesaikan setiap sengketa yang terjadi di
masyarakat adalah menggunakan hukum adat. Pada masa itu hukum adat diberlakukan
oleh hampir seluruh masyarakat di Indonesia. Setiap daerah mempunyai pengaturan
mengenai hukum adat yang berbeda antara daerah yang satu dengan yang lain.
Hukum adat sangat ditaati masyarakat pada masa itu karena mengandung Nilai-nilai baik nilai keagamaan, nilai-nilai
kesusilaan, tradisi serta nilai kebudayaan yang tinggi. Salah satu tokoh yang
meneliti hukum adat adalah Van Vollenhoven dimana penelitiannya mengenai hukum adat dimulai
sejak tahun 1906 dan selesai pada tahun 1931. Hukum adat di Indonesia menurut
Van Vollenhoven diartikan sebagai “hukum nonstatutair” yang sebagian besar
adalah hukum kebiasaaan dan sebagian hukum islam. Hukum adat itu pun melingkupi hukum yang berdasarkan
keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan, dimana
ia memutuskan perkara. Hukum adat berurat-berakar pada kebudayaan tradisional.
Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai
fitrahnya sendiri, hukum adat terus-menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang
seperti hidup itu sendiri”.
Hukum adat adalah
sistem aturan berlaku dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang berasal dari
adat kebiasaan, yang secara turun temurun dihormati oleh masyarakat sebagai
tradisi bangsa indonesia. Pada zaman sebelum VOC datang ke nusantara, kedudukan
hukum adat adalah sebagai hukum positip yang berlaku sebagai hukum yang nyata
dan ditaati oleh rakyat yang pada saat itu Nusantara.
Indonesia terdiri dari berbagai kerajaan. Naskah hukum adat
yang lahir pada waktu itu antara lain Kitab Ciwakasoma yang dibuat pada masa
raja Dharmawangsa pada tahun 1000 Masehi, Kitab hukum Gadjah Mada pada masa
kerajaan Majapahit (1331-1364), Kitab Hukum Adigama pada zaman Patih Kanaka
(1413-1430), dan Kitab Hukum Kutaramanawa di Bali. Selain itu ditemukan juga
bukti peraturan-peraturan asli lainnya seperti Kitab Ruhut Parsaoran di
Habatahon, Tapanuli (berisi kehidupan sosial di tanah Batak), Undang-Undang
Jambi di Jambi, Undang-Undang simbur Cahaya di Palembang, Undang-Undang Nan
Duapuluh di Minangkabau, Undang-Undang Perniagaan dan pelayaran dari Suku Bugis
Wajo di Sulawesi Selatan, Awig-Awig yang berisi peraturan Subak dan Desa ) di
Bali. Ditemukan juga berbagai
peraturan-peraturan kerajaan atau kesultanan yang pernah bertahta antara lain:
Kediri, Singosari, Mataram, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram II, Pakubuwono,
Mangkunegoro, Paku Alam, Tarumanagara, Pajajaran, Jayakarta, Banten, Cirebon,
Sriwijaya, Indragiri,Asahan, Serdang, Langkat, Deli, aceh, Pontianak, Kutai,
Bulungan, Goa, Bone, Bolaang Mongondow, Talaud, Ternate, Tidore, Kupang, Bima,
sumbawa, Endeh, Buleleng, Badung, Gianyar dan sebagainya.
Mulai tahun 1602 Belanda secara perlahan-lahan menjadi
penguasa wilayah yang kini adalah Indonesia, dengan memanfaatkan perpecahan di
antara kerajaan-kerajaan kecil yang telah menggantikan Majapahit. VOC telah
diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah
tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta.
Tujuan utama VOC adalah mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan
rempah-rempah di Nusantara.
Memasuki Zaman Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yaitu
zaman dimana orang asing (Barat) mulai masuk ke nusantara dan memberi perhatian
terhadap hukum adat. Pada masa ini ditandai dengan kebijakan Kompeni terhadap
hukum adat dengan cara saling menghormati. Hukum Barat (Belanda) pada awalnya
hanya digunakan untuk daerah pusat
pemerintahan Kompeni sedangkan untuk daerah yang belum dikuasai
dipersilakan bagi pendudukan untuk
menggunakan hukum adat mereka atau bagi yang mau tunduk pada hukum Belanda
diperbolehkan. Namun jika akan melakukan hubungan dengan Kompeni maka harus
menggunakan hukum Belanda. Dengan kata lain politik hukum Kompeni bersifat
oportunis.
Pada masa ini pemerintah Belanda memberikan hak istimewa
kepada VOC berupa hak octrooi (meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan,
mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dan mencetak uang). Gubernur yang
bernama Jenderal Pieter Both diberi wewenang untuk membuat peraturan guna
menyelesaikan masalah dalam lingkungan
pegawai VOC hingga memutuskan perkara perdata dan pidana. Kumpulan
peraturan pertama kali dilakukan pada tahun 1642, Kumpulan ini diberi nama
Statuta Batavia. Pada tahun 1766 dihasilkan kumpulan ke-2 diberi nama Statuta
Bara. Kekuasaan VOC berakhir pada 31 Desember 1799.
Memasuki masa pemerintahan Daendels (1808-1811), hukum adat
diperbolehkan dianut oleh penduduk bumi putera dengan syarat :
1. Hukum adat tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
2. Hukum adat tidak boleh bertentangan dengan dasar keadilan
dan kepatutan (dalam ukuran barat).
3. Hukum adat dapat menjamin tercapainya keamanan umum dengan
persyaratan tersebut bahwa pemerintahan Deandels menganggap rendah kedudukan
hukum adat dibanding Hukum Belanda.
Memasuki masa pemerintahan Raffles (1811-1816) , Raffles
menggunakan kebijakan atau politik bermurah hati dan bersabar terhadap golongan
pribumi untuk menarik simpati dan merupakan sikap politik Inggris yang
humanistis. Memasuki periode 1816- 1848, kedudukan hukum adat mulai terancam
karena penguasa Hindia Belanda pada waktu itu mulai memperkenalkan dan menganut
prinsip unifikasi hukum untuk seluruh wilayah
jajahannya dengan pengecualian berlakunya hukum adat oleh bumiputera.
Jadi secara prinsip hukum adat mulai terdesak oleh berlakunya hukum Hindia
Belanda akan tetapi dalam praktis
pemerintahan masih dianut persamaan kedudukan antara hukum adat dan
hukum barat.
Pada tahun 1816 Peraturan-peraturan umum termuat dalam
lembaran yang diterbitkan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang disebut dengan
“Staatsblad” beserta “Bijblad” -nya. Staatsblad dan Bijblad yang pertama kali
terbit dalam tahun 1816 sampai dengan 8 Maret 1942. Staatsblad tiap-tiap tahun
mulai dengan nomor 1, Bijblad nomornya berturut-turut tidak memperdulikan
tahunnya. Tata hukum Hindia Belanda pada saat itu terdiri dari : 1.
Peraturan-peraturan tertulis yang dikodifikasikan, 2. Peraturan-peratauran
tertulis yang tidak dikodifikasikan, 3. Peraturan-peraturan tidak tertulis
(hukum adat) yang khusus berlaku bagi golongan Eropa.
Pada masa ini, raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi
atas daerah-daerah jajahan termasuk kekuasaan mutlak terhadap harta milik
negara bagian yang lain. Kekuasaan mutlak raja itu diterapkan pula dalam
membuat dan mengeluarkan peraturan yang berlaku umum dengan nama Algemene
Verordening (Peraturan pusat). Ada 2 macam keputusan raja :
1. Ketetapan raja sebagai tindakan eksekutif disebut Besluit.
Seperti ketetapan pengangkatan Gubernur
Jenderal.
2. Ketetapan raja sebagai tindakan legislatif disebut
Algemene Verodening atau Algemene Maatregel van Bestuur (AMVB)
Pada masa ini pula dimulai penerapan politik agraria yang
disebut dengan kerja paksa oleh Gubernur Jenderal Du Bus De Gisignes. Pada
tahun 1830 Pemerintah Belanda berhasil mengkodifikasikan hukum perdata yang
diundangkan pada tanggal 1 Oktober 1838.
Namun hukum adat secara berangsur-angsur tergeser dengan adanya penggagasan diberlakukannya sistem hukum
kodifikasi hukum Barat yang secara efektif
berlaku sejak tahun 1848. Sejak tahun 1848, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Perdata dan Acara Pidana berdasarkan pada pola Belanda berlaku bagi penduduk
Belanda di Indonesia. Pada perjalanannya
kodifikasi semakin kuat dan hukum adat menjadi serba tidak pasti dan
menimbulkan tidak adanya jaminan kepastian hukum pada hukum adat. Penerapan
hukum adat sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 75 (Lama) R.R. bahwa jika
orang Indonesia yang tidak menyatakan dengan sukarela, bahwa ia akan dikuasai
oleh hukum perdata dan hukum dagang Eropa, maka untuk golongan bangsa
Indonesia, hakim harus melakukan dalam lapangan hukum perdata adat, sekadar
hukum adat itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar keadilan yang umum diakui.
Pada Masa Regerings Reglement (RR) yaitu pada kurun waktu
tahun 1855 sampai dengan tahun 1926 Berhasil diundangkan :
1. Kitab Hukum pidana untuk golongan Eropa melalui S.1866:55.
2. Algemene Politie Strafreglement sebagai tambahan Kitab
Hukum Pidana untuk Golongan Eropa.
3. Kitab Hukum Pidana orang bukan Eropa melalui S.1872:85.
4. Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa.
5. Wetboek Van Strafrecht yang berlaku bagi semua golongan
penduduk melalui S.1915:732 mulai berlaku 1 Januari 1918.
Semenjak tanggal 1 Januari 1920 sudah tidak ada lagi empat
golongan yakni orang Eropa, Mereka yang dipersamakan dengan orang Eropa,
Bumiputera dan mereka yang dipersamakan dengan bumiputera. Menurut Pasal 163
Indische Staatsregeling, Rakyat Indonesia dibedakan kedalam tiga golongan :
1. Orang Eropa
Yang termasuk golongan orang Eropa ialah :
a. Semua orang Belanda
b. Semua orang tidak termasuk orang Belanda, yang asalnya
dari Eropa
c. Semua orang Jepang
d. Semua orang yang berasal dari Belanda, Eropa dan Jepang
yang dinegerinya akan tunduk kepada hukum kekeluargaan, yang pada pokoknya
berdasarkan asas-asas yang sama dengan hubungan Belanda
e. Anak sah atau yang diakui menurut undang-undang dan
keturunan selanjutnya dari orang yang dimaksudkan dalam b,c, dan d yang lahir
di Hindia Belanda.
2. Bumiputera
Ialah semua orang yang termasuk rakyat Indonesia asli dari
Hindia Belanda dan tidak beralih masuk
golongan rakyat lain dan mereka yang mula-mula termasuk golongan rakyat lain.
Kemudian mencampurkan diri dengan rakyat Indonesia asli
3. Orang Timur Asing
Ialah semua orang yang bukan orang eropa atau bumiputera.
Pembagian golongan tersebut pada waktu itu diperlukan dalam hal lapangan hukum
perdata namun dalam hal hukum pidana berlaku hanya satu hokum pidana yaitu KUH
Pidana. Dalam hal hubungan antar golongan dan hukum yang berlaku akan
dijelaskan sebagai berikut :
a). Bagi warganegara yang berasal dari golongan Eropa,
berlaku KUH Perdata dan KUH Dagang yang diselaraskan (konkordan) dengan KUH
Perdata dan KUH Dagang yang berlaku di
negeri Belanda.
b). Bagi orang asing di Indonesia yang berasal dari golongan
Eropa berlaku KUH Perdata dan KUH dagang Barat di Eropa
c). Bagi warganegara Indonesia yang berasal dari golongan
Timur Asing :
1. Golongan Cina, berdasarkan Staatsblad 1924 No.557 berlaku
KUH Perdata dan KUH Dagang Barat di Indonesia, dengan dikecualikan (pada masa
lampau) peraturan-peraturan tentang :
I. Pencatatan
Sipil (kini hanya satu catatan sipil untuk semua warga negara Indonesia).
II. Cara-cara
Perkawinan (kini berlaku Undang-Undang Nomor.1 tahun 1974 untuk seluruh warga
negara Indonesia) ditambah dengan
peraturan-peraturan tentang :
· Pengangkatan
anak (adopsi)
· Kongsi
(kongsi disamakan dengan Firma dalam KUH Dagang).
2. Golongan bukan Cina , Berdasarkan Stb. 1924 Nomor. 556
berlaku KUH Perdata dan KUH Dagang Barat di Indonesia dengan dikecualikan :
I. Hukum
kekeluargaan
II. Hukum
Waris tanpa wasiat atau Hukum Waris menurut undang-undang atau Hukum Waris
abintestaat (abintestato). Hal ini disebabkan karena sebagian besar golongan
ini menganut agama islam, yang tentu tentu saja tidak dapat berlaku Hukum
Kekeluargaan dalam KUH Perdata Barat yang berasas perkawinan yang monogami
sedang hukum waris bagi golongan ini diatur dalam Hukum Islam menurut Alquran).
Kini berlaku Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 untuk semua warganegara
Indonesia.
d).Bagi orang asing di Indonesia yang berasal dari golongan
Timur Asing berlaku Hukum Perdata dan Hukum Dagang Timur Asing yang berlaku di
negaranya masing-masing.
e). Bagi warganegara Indonesia asli berlaku Hukum Perdata
adat (Hukum Adat). Hukum adat ini pada setiap daerah berlainan coraknya dan
kadang-kadang saling bertentangan.
Apabila hukum adat bertentangan dengan asas-asas kepatutan dan keadilan maka
sebagai pegangan dipakai Hukum Perdata Barat di Indonesia.
f). Bagi orang asing yang berasal dari golongan Indonesia,
berlaku hukum Perdata dari negara ia mana ia termasuk (Tunduk). Ada beberapa
cara orang-orang yang bukan golongan Eropa dapat tunduk pada Hukum Perdata
Barat di Indonesia yaitu :
a. Persamaan
Hak (gelijkstelling)
Diatur dalam
Stb.1883 Nomor 192, dimana persamaan hak ini mengakibatkan seorang yang bukan
Eropa berubah statusnya menjadi orang Eropa, kedudukannya disamakan dengan
orang Eropa dan Tunduk pada seluruh hukum perdata barat dan hukum publik.
b. Pernyataan
berlakunya Hukum (Toepasselijk Verklaring) Berdasarkan Pasal 75 ayat (3) RR Dimana adanya pernyataan berlakunya
Hukum Perdata Barat atas orang-orang bukan Eropa oleh pihak penguasa. Dalam hal
ini pembuat undang-undang menunjuk kepada orang yang bukan Eropa. Hukum yang
tadinya berlaku untuk orang-orang Eropa kemudian diperluas berlakunya hingga
orang-orang bukan Eropa. Beberapa peraturan yang menyatakan berlakunya hukum
Eropa diatur dalam :
1. Stb. 1924/556: KUH Perdata dan KUH Dagang Barat di
Indonesia kecuali Hukum Kekeluargaan dan Hukum waris Abintestaat, dinyatakan
berlaku untuk golongan Timur Asing bukan Cina.
2. Stb. 1924/557 : Pernyataan berlaku dari seluruh KUH
Perdata dan KUH Dagang Barat di Indonesia untuk golongan Timur Asing Cina,
kecuali peraturan tentang Catatan Sipil,
dan cara-cara perkawinan, ditambah dengan peraturan-peraturan tentang Kongsi
dan Adopsi.
3. Stb.1933/49 : KUH Dagang Barat di Indonesia untuk sebagian
dinyatakan berlaku bagi golongan
Indonesia.
4. Stb.1912/600: Peraturan Mengenai Hak Cipta (auteursrecht).
5. Stb.1898/158 : Peraturan Perkawinan Campuran berlaku untuk
semua golongan.
c. Penundukan
Sukarela kepada Hukum Perdata Eropa (Vrijwillige Onderwerping aan het Europese
Privaatrecht). Berdasarkan pasal 75 ayat (4) Regerings Reglement (RR) yang
kemudian diubah menjadi Indische Staatsregeling Pasal 131 ayat (4) : Bagi orang
Indonesia asli dan orang Timur asing, sepanjang mereka belum diletakkan dibawah
suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropa diperbolehkan menundukkan diri pada
hukum yang berlaku untuk Eropa. Berdasarkan ketentuan ini dibuatlah suatu
peraturan tentang penundukan sukarela kepada Hukum Perdata Eropa yang dimuat
dalam Stb. 1917/No.12 dimana ada 4 macam penundukan dengan sukarela kepada
hukum perdata barat yaitu :
1. Penundukan untuk seluruhnya kepada Hukum Perdata Barat
sehingga mengakibatkan seluruh hukum perdata dan hukum dagang barat di
Indonesia berlaku bagi orang yang menundukkan diri (dalam hal ini hanya
golongan Timur Asing Cina dan golongan Indonesia beragama nasrani)
2. Penundukan untuk sebagian hukum Perdata barat terhadap
hukum kekayaan/harta benda saja yaitu
seperti yang dinyatakan berlaku bagi golongan Timur Asing bukan Cina dalam Stb.
1924/556.
3. Penundukan mengenai suatu perbuatan hukum tertentu saja :
·
Dengan
akta disebutkan di dalam perbuatan mana yang diperlakukan hukum perdata barat di Indonesia bagi kedua pihak
·
Dengan
perjanjian khusus
4. Penundukan anggapan yaitu penundukan tidak sengaja pada
hukum perdata barat. Setelah Belanda menguasai Hindia Belanda (Indonesia)
kemudian penguasa Jepang menduduki dan merebut Indonesia dari penjajahan
Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942. Pada
masa penjajahan Jepang daerah Hindia dibagi menjadi Indonesia Timur (dibawah
kekuasaan AL Jepang berkedudukan di Makassar) dan Indonesia Barat (dibawah
kekuasaan AD Jepang yang berkedudukan di Jakarta). Peraturan-peraturan yang
digunakan untuk mengatur pemerintahan dibuat dengan dasar “Gun Seirei” melalui
Osamu Seirei. Pasal 3 Osamu Seirei No. 1/1942 menentukan bahwa “semua badan
pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang
lalu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal tidak bertentangan dengan
peraturan pemerintah militer. Pada Maret 1945 Jepang membentuk Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada zaman penjajahan Jepang
tidak sempat mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan karena masa menjajah
hanya 31/2 (tiga setengah) tahun kecuali Undang-Undang Nomor 1 tahun 1942 yang
berisi pemberlakuan berbagai peraturan
perundangan yang ada pada zaman Hindia Belanda
ü Periode Kolonialisme
Periode kolonialisme dibedakan menjadi tiga era, yaitu: Era VOC,
Liberal Belanda dan Politik etis hingga pendudukan Jepang.
a. Era VOC
Pada era penjajahan VOC, sistem hukum yang digunakan
bertujuan untuk:
1. Keperluan ekspolitasi ekonomi untuk membantu krisis
ekonomi di negera Belanda;
2. Pendisiplinan rakyat asli Indonesia dengan sistem yang
otoriter
3. Perlindungan untuk orang-orang VOC, serta keluarga, dan
para imigran Eropa.
Hukum Belanda diterapkan terhadap bangsa Belanda atau Eropa.
Sedangkan untuk rakyat pribumi, yang berlaku ialah hukum-hukum yang dibuat oleh
tiap-tiap komunitas secara mandiri. Tata politik & pemerintahan pada zaman
itu telah mengesampingkan hak-hak dasar rakyat di nusantara & menjadikan
penderitaan yang pedih terhadap bangsa pribumi di masa itu.
b. Era Liberal Belanda
Tahun 1854 di Hindia-Belanda dikeluarkan Regeringsreglement
(kemudian dinamakan RR 1854) atau Peraturan mengenai Tata Pemerintahan (di
Hindia-Belanda) yang tujuannya adalah melindungi kepentingan usaha-usaha swasta
di tanah jajahan & untuk yang pertama kalinya mencantumkan perlindungan
hukum untuk rakyat pribumi dari pemerintahan jajahan yang sewenang-wenang. Hal
ini bisa dilihat dalam (Regeringsreglement) RR 1854 yang mengatur soal
pembatasan terhadap eksekutif (paling utama Residen) & kepolisian, dan juga
jaminan soal proses peradilan yg bebas.
Otokratisme administrasi kolonial masih tetap terjadi pada
era ini, meskipun tidak lagi sekejam dahulu. Pembaharuan hukum yang didasari
oleh politik liberalisasi ekonomi ini ternyata tidak dapat meningkatkan
kesejahteraan rakyat pribumi, sebab eksploitasi masih terus terjadi.
c. Era Politik Etis Sampai Kolonialisme Jepang
Politik Etis diterapkan
di awal abad ke-20. Kebijakan-kebijakan awal politik etis yang berkaitan
langsung dengan pembaharuan hukum antara lain:
1. Pendidikan bagi rakyat pribumi, termasuk juga pendidikan
lanjutan hukum;
2. Pendirian Volksraad, yaitu lembaga perwakilan untuk kaum
pribumi;
3. Manajemen organisasi pemerintahan, yang utama dari sisi
efisiensi;
4. Manajemen lembaga peradilan, yang utama dalam hal
profesionalitas;
5. Pembentukan peraturan perundang-undangan yg berorientasi
pada kepastian hukum.
Sampai saat hancurnya kolonialisme Belanda, pembaruan hukum
di Hindia Belanda meninggalkan warisan: i) Pluralisme/dualisme hukum privat dan
pluralisme/dualisme lembaga-lembaga peradilan; ii) Pengelompokan rakyat ke
menjadi tiga golongan; Eropa dan yang disamakan, Timur Asing, Tionghoa &
Non-Tionghoa, & Pribumi.
Masa penjajahan Jepang tidak banyak terjadi pembaruan hukum
di semua peraturan perundang-undangan yang tidak berlawanan dengan peraturan
militer Jepang, tetap berlaku sambil menghapus hak-hak istimewa orang-orang
Belanda & Eropa lainnya. Sedikit perubahan perundang-undangan yang
dilakukan: i) Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang awalnya hanya berlaku
untuk golongan Eropa & yang setara, diberlakukan juga untuk kaum Cina; ii)
Beberapa peraturan militer diselipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana
yang berlaku. Di bidang peradilan, pembaharuan yang terjadi adalah: i) Penghapusan
pluralisme/dualisme tata peradilan; ii) Unifikasi kejaksaan; iii) Penghapusan
pembedaan polisi kota & lapangan/pedesaan; iv) Pembentukan lembaga
pendidikan hukum; v) Pengisian secara besar-besaran jabatan-jabatan
administrasi pemerintahan & hukum dengan rakyat pribumi.
ü Era Revolusi Fisik Sampai Demokrasi
Liberal
a. Era Revolusi Fisik
i) Melanjutkan unfikasi badan-badan peradilan dengan
melaksanakan penyederhanaan;
ii) Mengurangi serta membatasi peranan badan-badan pengadilan
adat & swapraja, terkecuali badan-badan pengadilan agama yg bahkan
diperkuat dengan pembentukan Mahkamah Islam Tinggi.
b. Era Demokrasi Liberal
Undang-undang Dasar Sementara 1950 yang sudah mengakui HAM.
Namun pada era ini pembaharuan hukum & tata peradilan tidak banyak terjadi,
yang terjadi adalah dilema untuk mempertahankan hukum & peradilan adat atau
mengkodifikasi dan mengunifikasinya menjadi hukum nasional yang peka terhadap
perkembangan ekonomi dan tata hubungan internasional. Selajutnya yang terjadi
hanyalah unifikasi peradilan dengan menghapuskan seluruh badan-badan &
mekanisme pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara, yang
ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang Mahkamah Agung dan UU Darurat No.
1/1951 tentang Susunan & Kekuasaan Pengadilan.
ü Era Demokrasi Terpimpin Sampai Orde
Baru
a. Era Demokrasi Terpimpin
Perkembangan dan dinamika hukum di era ini
i) Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan & mendudukan
MA & badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif;
ii) Mengubah lambang hukum "dewi keadilan" menjadi
"pohon beringin" yang berarti pengayoman;
iii) Memberikan kesempatan kepada eksekutif untuk ikut campur
tangan secara langsung atas proses peradilan sesuai UU No.19/1964 & UU
No.13/1965;
iv) Menyatakan bahwa peraturan hukum perdata pada masa pendudukan
tidak berlaku kecuali hanya sebagai rujukan, maka dari itu hakim harus
mengembangkan putusan-putusan yang lebih situasional & kontekstual.
b. Era Orde Baru
Pembaruan hukum pada masa Orde Baru dimulai dari penyingkiran
hukum dalam proses pemerintahan dan politik, pembekuan UU Pokok Agraria,
membentuk UU yang mempermudah modal dari luar masuk dengan UU Penanaman modal
Asing, UU Pertambangan, dan UU Kehutanan. Selain itu, orde baru juga
melancarkan: i) Pelemahan lembaga hukum di bawah kekuasaan eksekutif; ii)
Pengendalian sistem pendidikan & pembatasan pemikiran kritis, termasuk
dalam pemikiran hukum; Kesimpulannya, pada era orba tidak terjadi perkembangan
positif hukum Nasional.
ü Periode Pasca Orde Baru (1998 –
Sekarang)
Semenjak kekuasaan eksekutif beralih ke Presiden Habibie
sampai dengan sekarang, sudah dilakukan 4 kali amandemen UUD RI 1945. Beberapa
pembaruan formal yang terjadi antara lain: 1) Pembaruan sistem politik &
ketetanegaraan; 2) Pembaruan sistem hukum & HAM; dan 3) Pembaruan sistem
ekonomi.
Komentar
Posting Komentar