Perlindungan Konsumen
A. HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN SERTA PELAKU USAHA
1. KONSUMEN
a. Hak-hak
konsumen
Sebagai pemakai barang/jasa,
konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak
konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis
dan mandiri. Tujuannya, jika ditengarai adanya tindakan yang tidak adil
terhadap dirinya, ia secara spontan menyadari akan hal itu. Konsumen kemudian
bisa bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia
tidak hanya tinggal diam saja ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar
oleh pelaku usaha.
Berdasarkan UU Perlindungan konsumen pasal 4, hak-hak konsumen
sebagai berikut :
·
Hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa.
·
Hak
untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi
serta jaminan yang dijanjikan .
·
Hak
atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang/jasa.
·
Hak
untuk didengar pendapat keluhannya atas barang/jasa yang digunakan.
·
Hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
·
Hak
untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
·
Hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskrimainatif.
·
Hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika barang/jasa
yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
·
Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Disamping hak-hak dalam pasal 4 juga
terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal 7, yang mengatur tentang
kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum,
sehingga kewajiban pelaku usaha merupakan hak konsumen. selain hak-hak yang
disebutkan tersebut ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif
persaingan curang. Hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa kegiatan
bisnis yang dilakukan oleh pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur
yang dalam hukum dikenal dengan terminologi “persaingan curang”.
Di Indonesia persaingan curang ini
diatur dalam UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat, juga dalam pasal 382 bis KUHP. Dengan demikian
jelaslah bahwa konsumen dilindungi oleh hukum, hal ini terbukti telah diaturnya
hak-hak konsumenyang merupakan kewajiban pelaku usaha dalam UU No. 8 tahun 1999
tentang perlindungan konsumen, termasuk didalamnya juga diatur tentang segala
sesuatu yang berkaitan apabila hak konsumen, misalnya siapa yang melindungi
konsumen, bagaimana konsumen memperjuangkan hak-haknya.
b. Kewajiban Konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai dengan
Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
·
Membaca
atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
·
Beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
·
Membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
·
Mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
2. PELAKU USAHA
a. Hak Pelaku Usaha
Seperti halnya konsumen, pelaku
usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur
dalam Pasal 6 UUPK adalah:
·
Hak
untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
·
Hak
untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik.
·
Hak
untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen.
·
Hak
untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
·
Hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
b. Kewajiban Pelaku Usaha
Sedangkan kewajiban pelaku usaha
menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
·
Beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
·
Memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
·
Memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
·
Menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
·
Memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
·
Memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
·
Memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Bila diperhatikan dengan seksama,
tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan
kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus
dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan
hak yang akan diterima pelaku usaha.
Bila dibandingkan dengan ketentuan
umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih
spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha
dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif,
tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.
B. PERBUATAN YANG DILARANG
BAGI PELAKU USAHA
Ketentuan mengenai perbuatan yang
dilarang bagi pelaku usaha diatur dalam Pasal 8 – 17 UU PK. Ketentuan-ketentuan
ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
a) Larangan
bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8).
b) Larangan bagi
pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16).
c) Larangan
bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17).
Ada 10 larangan bagi pelaku usaha
sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
·
Tidak
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
·
Tidak
sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
·
Tidak
sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya;
·
Tidak
sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
·
Tidak
sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
·
Tidak
sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
·
Tidak
mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang
paling baik atas barang tertentu;
·
Tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal”
yang dicantumkan dalam label.
·
Tidak
memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran,
berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat
sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan
yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat.
·
Tidak
mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha diatur oleh
ketentuan tersendiri. Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman
tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Tak jarang pula, tiap daerah
memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan Daerah.
Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib memiliki
itikad baik dalam berusaha. Segala janji-janji yang disampaikan kepada
konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.
Selain itu, ayat (2) dan (3) juga memberikan larangan sebagai
berikut:
Ayat (2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan
barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan
informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
Ayat (3) Pelaku usaha dilarang
memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan
tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
UU PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu
rusak, cacat, bekas dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa
Indonesia, istilah-istilah tersebut diartikan sebagai berikut:
Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik
atau kurang sempurna.
Bekas: sudah pernah dipakai.
Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi).
Ternyata cukup sulit untuk
membedakan rusak, cacat dan tercemar. Menurut saya rusak berarti benda tersebut
sudah tidak dapat digunakan lagi. Cacat berarti benda tersebut masih dapat
digunakan, namun fungsinya sudah berkurang. Sedangkan tercemar berarti pada
awalnya benda tersebut baik dan utuh. Namun ada sesuatu diluar benda tersebut
yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau tidak berfungsi
lagi.
Ketentuan terakhir dari pasal ini adalah:
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)
dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya
dari peredaran.
C. TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Setiap pelaku usaha harus
bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung
jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat
dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam
memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang
dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau
melakukan perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun
1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28. di dalam pasal 19 mengatur tanggung
jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau
diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran,
kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21
mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi
jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa
pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana
sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal
yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita
konsumen, apabila :
Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak
dimaksud untuk diedarkan
Cacat barang timbul pada kemudian hari.
Cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi
barang.
Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen.
Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau
lewat jangka waktu yang diperjanjikan
D. SANKSI BAGI PELAKU USAHA
Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen
Sanksi Perdata :
Ganti rugi dalam bentuk :
- Pengembalian uang atau
- Penggantian barang atau
- Perawatan kesehatan, dan/atau
- Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika
melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25.
Sanksi Pidana :
Kurungan :
- Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10,
13 ayat (2), 15, 17 ayat (1)
huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18.
- Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12,
13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d
dan f.
* Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian.
* Hukuman tambahan , antara lain :
o Pengumuman keputusan Hakim
o Pencabuttan izin usaha.
o Dilarang memperdagangkan barang dan jasa.
o Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa.
o Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .
E. CONTOH KASUS PERLINDUNGAN
KONSUMEN
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia mengungkapkan hasil
investigasinya mengenai produk pembalut dan pantyliner yang mengandung zat
berbahaya bagi kesehatan. Menurut YLKI, perempuan Indonesia terancam mengidap
keputihan, kanker, dan infertilitas akibat penggunaan pembalut dan pantyliner tersebut.
Penelitian terbaru
dari YLKI menunjukkan bahwa sebagian besar pembalut yang terdaftar di Kementerian
Kesehatan dan beredar di pasaran ternyata mengandung klorin dengan kadar yang
beragam.
Pengujian kadar klorin
dilakukan pada Januari-Maret 2015 di laboraturium independen yang terakreditasi
dengan mengambil sampel sembilan merek pembalut dan tujuh merek pantyliner yang dijual di retail moderen (supermarket).
Hasil pengujian lab menunjukkan bahwa seluruh sampel mengandung klorin dengan
rentang 5 sampai dengan 55 ppm.
ANALISIS
Menurut analisis
saya pada kasus diatas, pihak konsumen sangat dirugikan dan produk yang
dikeluarkan oleh produsen amat sangat membahayakan konsumen, hal tersebut
sangat jelas dilarang dan telah melanggar peraturan perundangan yang berlaku
dalam hal ini UU No. 8 Tahun 99 Tentang Perlindungan Konsumen.
Berdasarkan kasus
diatas pihak produsen melanggar:
·
Pasal
8 Ayat 1 Butir a UUPK : Pelaku usaha dan/atau jasa dilarang
memproduksi/memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak
sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan.
·
Pasal
8 Ayat 1 Butir e UUPK : Pelaku usaha dan/atau jasa dilarang
memproduksi/memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan mutu,
tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu
sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa
tersebut.
·
Pasal
8 Ayat 4 UUPK : Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat
(2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib
menariknya dari peredaran.
Sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan diatas pembalut dan pantyliner yang diproduksi oleh produsen
tidak sesuai dan tidak memenuhi standar produksi pembalut dan pantyliner karena
jelas-jelas setelah diteliti oleh YLKI pembalut dan pantyliner tersebut
mengandung klorin suatu zat berbahaya yang bias menyebabkan keputihan, kanker, dan infertilitas, karena standar suatu
produk harus mengutamakan bahan-bahan yang aman untuk dikonsumsi dan/atau
digunakan oleh konsumen. Selanjutnya adalah tidak sesuai dengan komposisi, bahwa
pembalut yang diproduksi oleh pelaku usaha tidak mencantumkan komposisi klorin
tersebut dalam kemasan karena sudah jelas ketika kandungan atau komposisi
tersebut dicantumkan tidak akan mendapatkan izin dari BPOM.
Penyelesaian dari
kasus tersebut adalah pihak produsen yang memproduksi maupun pelaku usaha yang
menjual pembalut dan pantyliner yang mengandung klorin tersebut wajib menarik
barang tersebut dari pasaran. Sesuai dengan Pasal 1 Ayat 4 UUPK.
Selain dari pelaku
usaha dan/atau produsen, kasus ini pun harus mendapatkan perhatian penting dalam hal pengawasan dan tanggungjawab dari
pemerintah itu sendiri yang tercantum dalam Pasal 29 dan 30 UUPK serta peran
dari BADAN
PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL dalam rangka pengembangan upaya perlindungan konsumen
di Indonesia.
Komentar
Posting Komentar