BAMUI
ü
Pengertian Badan Penyelesai Sengketa
Pada perbankan syariah, apabila
terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua belah
pihak tersebut tidak menyelesaikan perselisihan tersebut di peradilan negeri,
tetapi menyelesaikannya sesuai tata cara dan hukum matei syariah. Sehingga
lembaga yang mengatur materi dan atau berdasarkan prinsip syariah adalah Badan
Penyelesai Sengketa. Di Indonesia lembaga tersebut dikenal dengen nama Badan
Abitrase Muamalah Indonesia atau BAMUI yang didirikan secara bersama oleh
kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia.
ü
BASYARNAS (Badan Syariah Nasional)
Badan Arbitrase syariah Nasional adalah perubahan nama dari Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia(BAMUI) Indonesia yang berdiri pada tanggal 21
Oktober 1993 / 5 jumadil Awal 1414 H yang diprakasai oleh majlis Ulama
Indonesia. Dengan adanya undang-undang perbankan.no 7 tahun 1992 membuat era
baru dalam sejarah perkembangan hukum ekonomi Indonesia. Undang-undang tersebut
memeperkenalkan sistem bagi hasil yang tidak dikenal dalam undang-undang
tentang pokok perbankan no.14 tahun 1967. Dengan adanya system bagi hasil itu
maka perbankan dapat melepaskan diri dari usaha-usaha yang mempergunakan
sistem “ bunga”. Pada tanggal 22 April 1992 Dewan Pimpinan MUI mengundang rapat
para pakar atau praktisi hukum atau cendekiawan muslim termasuk dari kalangan
Perguruan Tinggi guna bertukar pikiran perlu tidaknya dibentuk Arbitrase Islam.
Setelah beberapa kali melekukan rapat,
didirikanlah Badan Arbitrase Muamalat ndonesia (BAMUI) yang
didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) tanggal 05 Jumadil Awal 1414 H
bertepatan dengan tanggal 21 Oktober tahun 1993 M. Didirikan dalam bentuk badan
hukum yayasan, sebagaimana dikukuhkan dalam akte notaris Yudo Paripurno,SH.
Nomor 175 tanggal 21 Oktober 1993. Dalam rekomendasi RAKERNAS MUI, tanggal
23-26 Desember 2002, menegaskan bahwa BAMUI adalah lembaga hukum arbitase
syari’ah satu-satunya di Indonesia dan merupakan perangkat organisasi MUI.
Kemudian sesuai dengan hasil pertemuan antara Dewan Pimpinan MUI dengan
Pengurus BAMUI tanggal 26 Agustus 2003 serta memperhatikan isi surat Pengurus
BAMUI No.82/BAMUI/07/X/2003, tanggal 07 Oktobe 2003, maka MUI dengan
Sk-nya no.Kep-09/MUI/XII/2003, pada
tanggal 24 Desember 1993 menetapkan:
1. Mengubah nama Badan Arbitras Mu’amalat Indonesia (BAMUI)
menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
2. Mengubah bentuk badan BAMUI dari yayasan menjadi badan
yang berada dibawah MUI dan merupakan perangkat organisasi.
3. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai lembaga
hakam, BASYARNAS bersifat otonom dan independen.
4. Mengangkat pengurus Basyarnas
Dengan lahirnya sistem bagi hasil ini
terbuka peluang lahirnya bank muamalat Indonesia yang dalam operasionalnya
menggunakan hukum islam. Dari peristiwa di atas merupakan tonggak sejarah yang
sangat penting dalam kerhidupan umat islam khususnya perkembangan hukum nasional umumnya. Selama
ini peranan hukum islam terbatas hanya pada bidang keluarga saja tetapi pada tahun
1992 peranan hukum islam telah memasuki dunia hukum ekonomi, diterapkannya
hukum islam membawa sejarah penting lahirnya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI). Lahirnya Badan Arbitrase ini sangat tepat karena melalui badan
arbitrase tersebut sangketa-sangketa bisnis yang operasionalnya hukum islam
dapat diselesaikan menggunakan hukum islam juga.
ü
Tujuan Berdirinya dan Ruang Lingkup BASYARNAS
Adapun tujuan didirinya dan ruang lingkup Basyarnas (BAMUI) berdasarkan
isi dari pasal 4 Anggaran Dasar yayasan arbitrase Muamalah Indonesia adalah
sebagai berikut :
1. Memberikan
penyelesaian yang adil dan cepat dalam sangketa-sangketa muamalah / perdata
yang timbul dalam perdagangan , industry, keuangan, jasa dan lain-lain.
2. Menerima
permintaan yang diajukan oleh pihak yang bersengketa dalam suatu
perjanjian,ataun tampa adanya suatu sangketa untuk memberikan sutu pendapat
yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut.
3. Adanya BASYARNAS
sebagai suatu lembaga permanen, berfungsi untuk menyelesaikan kemungkianan
terjadinya sengketa perdata di antara bank-bank syari’ah dengan para nasabahnya
atau para pengguna jasa mereka pada khususunya dan antara sesama umat islam
yang melakukan hubungan-hubungan keperdataan yang menjadikan syari’ah islam
sebagai dasarnya, pada umumnya adalah merupakan suatu kebutuhan yang
sungguh-sungguh nyata.
4. Ruang lingkup
Basyarnas adalah semua lembaga keuangan, industry, jasa dan lain-lain yang
dalam operasinya menggunakan system syariah.
Ada
beberapa alasan para pihak memeilih menyelesaikan sangketa melalui arbitrase
dan tidak menggunakan badan peradilan umum, adalah sebagai berikut :[4]
1. Kepercayaan dan
keamanan Arbitrase memberikan kebebasan dan otonomi yang sangat luas bagi para
pedagang,pengusaha dan investor, dan juga memberikan rasa aman terhadap keadaan
tidak menentu dan ketidakpastian sehubungan system hokum yang berbeda.
2. Keahlian
Arbiter, para pihak yang bersangketa mempunyai kepercayaan yang besar terhadap
keahlian arbiter dalam menyelesaikan sangketa mereka karena para arbiter adalah
orang yang ahli dalam fiqh, hukum ekonomi dll.
3. Cepat dan hemat
biaya dalam pengambilan keputusannya pada basayrnas relative lebih cepat
dibandingkan pada pengadilan umum dan biaya lebih hemat.
4. Bersifat
rahasia, Arbitrase bersifat tertutup karena berlangsunng di lingkungan pribadi
dan tidak umum.
5. Bersifat non
preseden, dalam system hukum prinsip preseden mempunyai pengaruh penting.Dalam
keputusan arbitrase umumnya tidak memiliki atau sifat preseden. Kerena untuk
perkara yang sama bisa saja dihasilkan keputusan yang berbeda.
6. Kepekaan arbiter,
yang membedakan antara Basyarnas dan pengadilan umum lainnya adalah kepekaan
atau kearifan dari arbiter terhadap perangkat peraturan yang kan diterapkan
arbiter terhadap perkara-perkara yang ditangani.
7. Pelaksanaan
keputusan, keputusan arbitrase mungkin lebih mudah dilaksanakan daripada
keputusan pengadailan hal ini disebabkan kerena keputusan arbitrase bersifat
final.
ü
Contoh Perkara yang dapat Diselesaikan oleh
BASYARNAS
Contoh perkara yang dapat diselesaikan oleh BASYARNAS seperti sengketa
muamalat (perdata) yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri,
jasa dan lan-lain secara adil dan cepat. Bila dicontohkan lebih spesifik,
seperti perkara berikut : Perkara kredit macet antara seorang nasabah Bank dan
Lembaga Bank. Akibat adanya kredit macet , maka nasabah menggugat Bank, atau
dapat sebaliknya, Bank yang menggugat nasabahnya. Kemudian pihak yang menggugat
mengajukan perkara tersebut ke BASYARNAS. Apabila perkara tersebut dapat
diterima oleh BASYARNAS,maka para pihak harus mengikuti prosedur ataupun
mekanisme yang telah ditentukan dan ditetapan oleh BASYARNAS. Cara yang
dilakukan BASYARNAS untuk menyelesaikan perkara adalah sebagai berikut :
1. Mediasi :
Musyawarah untukmufakat
2. Sidang :
Mengeluarkan putusan
3. Putusan
:Mengeluarkan putusan pada suatu perkara
Dalam penyelesaian suatu perkara di BASYARNAS, tidak hanya orang muslim
saja yang bisa, melainkan orang non muslim juga dapat menyelesaikan perkaranya
di BASYARNAS dengan syarat ia setuju penyelesaian masalahnya diselesaikan
dengan syariat/ ajaran islam.
ü
Visi dan Misi BASYARNAS
Adapun visi dan misi BASYARNAS (
Badan Arbitrase Syariah Nasional ) adlah sebagai berikut :
• Visi :
1. Sebagai lembaga
hakam yang amanah dan terpercaya dalam menyelesaikan sangketa muamalah
(perdata) berdasarkan syariah
2. Terwujudnya
msyarakat yang adil dan sejahtera dalam pranata hokum,ekonomi, social, budaya
yang islami.
• Misi :
1. Menyelesaikan secara adil dan cepat sangketa
muamalah ( perdata) dalam bidang
perdagangan, keuangan, industry, jasa dan lain-lain.
2. Memberikan
pendapat yang mengikat atas permintaan para pihak tampa adanya suatu sangketa
mengenai persoalan tertentu dalam suatu perjanjian.
2.3 Sengketa Bank
Syariah
Menurut Siti Megadianty adam dan Takdir Rahmadi, sebagaimana dikutip
Rachmadi Usman dalam kosa kata Inggris terdapat dua istilah, yakni “conflict”
dan “dispute”, yang keduanya-duanya mengandung pengertian tentang adanya
perbedaan diantara kedua pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat dibedakan. Di
dalam bahasa Indonesia kosa kata “conflict” sudah diserap menjadi “konflik”
yang maksudnya adalah sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih dihadapkan
pada perbedaan kepentingan. Sedangkan kosa kata “dispute” telah diserap ke
dalam bahasa Indonesia menjadi “sengketa”, yakni berkembangnya konflik bilamana
pihak yangmerasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau
keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggapa sebagai penyebab
kerugian atau pihak lain. Sengketa perbankan syariah yakni perbedaan
kepentingan diantara dua pihak atau lebih dalam perbankan syariah yang
mengakibatkan terjadinya kerugian bagi suatu pihak maupun pihak-pihak tertentu
dan perbedaan kepentingan atau kerugian tersebut dinyatakan kepada pihak yang
dianggap menjadi penyebab kerugian atau kepada pihak lain, dan pihak lain
tersebut memberikan pendapat yang berbeda.
Pada produk-produk perbankan syariah seperti produk musyarakah dan
mudarabah, sengketa dapat terjadi dalam linkup produk pengumpulan dana, seperti
tentang jumlah atau angka-angka tabungan atau deposito, atau bila nasabah
merasa bahwa keuntungan yang diterimanya tidak wajar atau menyalahi kesepakatan.
Dimungkinkan juga apabila nasabah tidak dapat menarik dananya pada waktu yang
ditentukan dan sebagainya, juga apabila nasabah merasa bahwa dananya teleh
digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang tidak berdasarkan prinsip-prinsip
syariah. Sengketa juga dapat terjadi pada produk –produk pembiayaan syariah,
seperti dalam hal terjadi kerugian dalam produk pembiayaan bebentuk mudarabah,
lalu bank sebagai shahibul mal membebankan kerugian tersebut kepada pengusaha
(mudarib), sedangkan pengusaha tidak menjalankan usahanya dengan
sungguh-sungguh atau tidak jujur sehingga timbul kerugian, atau apabila
kejujuran mudarib tidak diakui oleh bank dan sebagainya.
Pada produk musyarakah, sengketa mungkin terjadi karena masing-masing
pihak merasa mitranya tidak jujur, tidak profesional, tidak produktif, tidak
efisien atau tidak maksimal menjalankan usaha bersama sehingga terjadi
kerugian. Apabila terjadi sengketa syariah, maka berdasarkan penjelasan Pasal
49 UU No. 3 Tahun 2006, lembaga yang berwenang mengadilinya adalah pengadilan
agama. Meskipun demikian, ada kemungkinan sengketa perbankan syariah tidak di
ajukan ke pengadilan agama, hal ini terjadi apabila dalam perjanjian atau akad
produk tersebut telah menyebutkan bahwa ditentukannya lembaga-lembaga lain atau
cara lain yang akan menyelesaikan sengketa. Keadaan tersebut sejalan dengan
ketentuan Pasal 1338 KUHP Perdata tentang kebebasan berkontrak.
Secara khusus untuk sengketa yang terdapat dalam perbankan syariah dan
lembaga-lembaga ekonomi syariah pada umumnya ditangani oleh lembaga penyelesai
sengketa di luar pengadilan negeri terutama adalah melalui Badan Arbitrase
Syariah Nasional (Basyarnas). Dengan demikian, litigasi atau penyelesaian
sengketa melalui gugatan di pengadilan bukan satu-satunya lembaga atau cara
yang dapat menyelesaikan sengketa sebab tersedia beberapa alternatif untuk
menyelesaikan perkara di luar pengadilan, yakni arbitrase dan Alternative
Dispute Resolution.
ü
Penyelesaian Sengketa Bank Syariah
Pada awalnya, yang menjadi
kendala hukum bagi penyelesaian sengketa perbankan syariah adalah hendak dibawa
kemana penyelesaiannya, karena pengadilan negeri tidak enggunakan syariah
sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara sedangkan wewenang pengadilan
saat itu menurut UU No. 7 Tahun 1989 hanya terbatas mengadili perkara
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan sadakah sehingga penyelesaian
sengketa perrbankan syariah saat ini dapat dilakukan melalui metode
nonlitigasi.
Pada prinsipnya, penegakan
hukum hanya dilakukan oleh kekuasaan kehakiman (judicial power) yang secara
konstitusional lazi dsebut badan yudikatif (Pasal 24 UUD 1945). Dengan
demikian, maka yang berwenang memeriksa dan mengadili sengketa hanya badan
peradilan yang bernaung di bawah kekuasaan kehakiman yang berpuncak di mahkamah
Agung. Pasal 2 UUNo. 14 Tahun 1970 secara tegas menyatakan bahwa yang berwenang
dan berfungsi melaksanakan peradian hanya badan-badan peradilan yang dibentuk
berdasarkan undang-undang. Di luar itu tidak dibenarkan karena tidak memenuhi
syarat foral dan official serta bertentangan dengan prinsip under the authority
of law. Namun berdasarkan Pasal 181, 1855, dan 1858 KUHPerdata, penjelasan
Pasal 3 UU No. 14 Tahun 1970 serta UU No. 30 Thun 1999 tentang Arbitrase dan
ADR, maka terbuka kemungkinan para pihak menyelesaikan sengketa dengan
menggunakan lembaga selain pengadilan (nontiligasi) seperti arbitrase atau
perdamaian (islah). Penyelesaian sengketa melalui jalur nonlitigasi di atur
dalam satu pasal, yakni Pasal 6 UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
ü
Perdamaian (Sulh/Islah)
Islah secara harfiah mengandung pengertian “memtus pertengkaran atau perselisihan”.
Dalam pengertian syariah dirumuskan sebagai “suatu jenis akad (perjanjian) unuk
mengakhiri perlawanan (peselisihan) antara dua orang yang berlawanan.” Dalam
perdamaianini terdapat dua pihak yang sebelumnya di antara mereka ada suatu
persengketaan, dan kemudian para pihak sepakat untuk saling melepaskan semua
atau sebagian dari tuntutannya, hal ini dimaksudkan agar persengketaan di
antara mereka (pihak yang bersengketa) dapat berakhir.
Perdamaia dalam syariah Islah sangat dianjurkan, sebab dengan adanya
perdamaian di antara para pihak yang bersngketa, maka akan terhindarkanlah
kehancuran silaturahmi (hubungan kasih saying) di antaa para pihak, dan
sekaligus permusuhan di antara para pihak akan dapat diakhiri. Rukun dari perjanjian
perdamaian adalah:
1. adanya ijab;
2. adanya kabul;
3. adanya lafal.
Ketiga rukun terseut sangat penting artinya dalam suatu pejanjia
perdamaian, sebab tanpa adanya ijab, Kabul, dan lafal tidak diketahui adanya
perdamaian di antara mereka. Apabila rukun initelah terpenuhi, maka dari
perjanjian perdamaian itu lahirlah suatu ikatan hukum, yaitu masing-masing
pihak berkewajiban untuk menaati isi perjanjian. Perjanjia itu dapat dipaksakan
pelaksanaannya, tidak dapat dibatalkan secara sepihak dan kalaupun dibatalkan
harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Adapun yang menjadi syarat
sahnya suatu perjanjian perdamaian dapat diklasifikasikan kepada hal berikut
ini :
1. Perihal
subjek. Orang yang melakukan perdamaian haruslah orang yang cakap bertindak
menurut hukum, dan uga harus mempunyai kekuasaan atau kewenangan untuk
melepaskan haknya atas hal-hal yang dimaksudkan dalam perdamaian itu.
2. Perihal objek.
Harus memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Berbentuk
harta (baik berwujud maupun tidak berwujud) yang dapat dinilai, diserahterimaka,
dan bermanfaat.
b. Dapat
diketahui secara jelas, sehingga tidak menimbulkan kesamaran dan ketidakjelasan
yang dapat menimbulkan pertikaian yang baru.
Sengketa yang boleh di damaikan adalah :
1. Sengketa
tersebut berbentuk harta yang dapat dinilai
2. Menyangkut hak
manusa yang boleh diganti
Dengan kata lain perjanjian perdamaian hanya sebatas pada
persoalan-persoalanmuamalah saja (hubungan keperdataan). Sedangkan
persoalan-persoalan yang menyangkut hal Allah SWT tidak dapat diadakan
perdamaian.
ü
Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari Bahasa Belanda: “arbitrate”
dan Bahasa Inggris: arbitration, dalam Bahasa Latin: arbitrare, yang berarti
penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim
berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk dan mentaati keputusan yang
diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.
Dengan demikian arbitrase merupakan suatu peradilan perdamain, dimana para
pihak yang bersengketa atau berselisih menghendaki perselisihan mereka tentang
hak-hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh
hakim yang adil yaitu tidak memihak kepada salah satu pihak yang berselisih
tersebut. Keputusan yang telah diambil mengikat bagi kedua belah pihak. Dalam
pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, bahwa yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak1 yang
bersengketa. Ada beberapa alasan para pihak memilih penyelesaian sengketa
melalui arbitrase dan tidak menggunakan peradilan umum, antara lain:
1. Kepercayaan
dan keamanan bagi pihak yang berselisih.
Arbitrase memberikan kebebasan dan otonomi yang sangat luas
bagi pihak yang akan menyelesaikan persengketaan yang terjadi diantara mereka.
Mereka dapat menentukan arbiter yang mereka inginkan atau menyerahkan
sepenuhnya kepada lembaga arbitrase yang akan memilih arbiter bagi mereka.
Disamping itu melalui arbitrase relatif lebih aman terhadap keadaan yang tidak
menentu dan ketidakpastian sehubungan dengan sistem hukum yang berbeda.
2. Keahlian
(expertise) dari para arbiter.
Para pihak mempunyai kepercayaan yang besar kepada para
arbiter mengenai perkara yang akan diselesaikan. Mereka juga dapat menunjuk
arbiter yang memiliki keahlian tertentu untuk membantu menyelesaikan
persengketaan mereka, sedangkan dalam pengadilan umum, hal ini tidak bisa
dilakukan mereka.
3. Arbitrase
bersifat rahasia.
Arbitrase bersifat tertutup dan rahasia, karena ia hanya
menyangkut pribadi dan tidak bersifat umum. Tujuannya adalah untuk melindungi
para pihak dari hal-hal yang tidak diinginkan misalnya dengan penyebarnya
rahasia bisnis para pihak yang bersengketa kepada masyarakat umum.
4. Non-preseden.
Keputusan arbitrase tidak memiliki nilai yang berpengaruh
penting dalam pengambilan keputusan arbitrase lainnya atau bersifat Non-preseden.
Dengan demikian keputusan arbitrase bisa saja berbeda antara satu dengan
lainnya walaupun perkara yang diselesaikan serupa atau memiliki kesamaan.
5. Kearifan dan
kepekaan arbiter.
Kearifan dan kepekaan arbiter terhadap aturan yang akan
diterapkan inilah yang menjadi motivasi para pihak yang bersengketa meminta
penyelesaian sengketanya melalui arbitrase.
6. Keputusan
arbitrase lebih mudah dilaksanakan daripada peradilan.
7. Cepat dan
hemat biaya penyelesaian.
Arbitrase lebih cepat dan lebih ringan biayanya dibandingkan
pengadilan umum yang akan menyelesaian persengketaan yang terjadi antara para
pihak. Melalui arbitrase tidak ada kemungkinan kasasi terhadap keputusan
arbitrase, karena keputusannya final dan binding.
ü
Pengadilan Biasa (Al-Qadla)
Al-qadla secara harfiah berarti antara lain memutuskan atau menetapkan.
Menurut istilah fikih kata ini berarti menetapkan hukum syara’ pada suatu
peristiwa atau sengketa untuk menyelesaikannya secara adil dan mengikat.
Lembaga peradilan semacam ini berenang menyelesaikan perkara-perkara perdata
dan pidana. Orang yang berwenang untuk menyelesaikan perkara pada pengadilan
semacam ini dikenal dengan qadli (hakim). Kekuasaan qadli tak dapat dibatasi
oleh persetujua pihak yang bertikai dan keputusan dari qadli ini mengikat kedua
belah pihak.
Komentar
Posting Komentar