Kasus Film Soekarno
Film Soekarno garapan sutradara Hanung Bramantyo terancam
ditarik dari peredaran setelah Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengeluarkan
penetapan sementara terkait adanya dugaan pelanggaran hak cipta di film
tersebut.
Penetapan sementara ini diterbitkan setelah Rachmawati
Soekarnoputri, salah satu putri Bung Karno, melayangkan permohonan ke
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Dalam penetapan sementara yang dikeluarkan pada
Rabu (11/12), pihak PT Tripar Multivision Plus, Raam Jethmal Punjabi, dan
Hanung Bramantyo diperintahkan segera menyerahkan master serta skrip film
Soekarno kepada Rachmawati. Alasannya, terdapat pelanggaran hak cipta di film
tersebut. Multivision Plus, Raam
Punjabi, serta Hanung juga diperintahkan menghentikan, menyebarluaskan, ataupun
mengumumkan hal-hal yang terkait dengan film Soekarno khusus di adegan yang
tercantum di skrip halaman 35.
Menurut penetapan sementara, adegan itu menampilkan
"...dan tangan polisi militer itu melayang ke pipi Sukarno beberapa kali.
Saking kerasnya Sukarno sampai terjatuh ke lantai" dan adegan "popor
senapan sang polisi sudah menghajar wajah Soekarno".
Kuasa hukum Rachmawati Turman Panggabean mengklaim skrip
film layar lebar ini dibuat oleh kliennya.
"Skrip pertama dan kedua oke, lalu di skrip ketiga
tiba-tiba ada cerita Soekarno bertemu dengan polisi militer Jepang dan
ditempeleng sampai jatuh. Rachma tidak setuju dan akhirnya mengundurkan
diri," paparnya kepada Bisnis, Kamis (12/12/2013).
Padahal menurut Turman, Rachmawati lah yang awalnya memunyai
ide membuat film ini. Setelah kliennya mundur, produksi film tetap dilanjutkan
termasuk adanya adegan yang dipermasalahkan.
"Film harus ditarik. Kalau mau dikeluarkan lagi, harus
direvisi dulu skripnya," tegasnya.
Permohonan penetapan sementara ini didasarkan pada Peraturan
Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5 Tahun 2012. Beleid ini khusus mengatur hak
kekayaan intelektual, yakni hak cipta, desain industri, merek, dan paten. Dalam
ketentuan itu juga disebutkan bagi mereka yang tidak menaati penetapan ini dapat
dipidana dengan Pasal 216 KUHP. Pidana penjara yang dinyatakan dalam pasal itu
adalah paling lama 4 bulan 2 minggu, sedangkan pidana denda paling banyak
sebesar Rp9.000,-. Terkait hal ini, pihak Hanung menolak berkomentar dan hanya
mengatakan permasalahan tersebut akan dijelaskan oleh kuasa hukum Multivision
Plus.
Berikut merupakan isi dari pasal 216 KUHP.
(1) Setiap terdakwa yang diputus pidana wajib membayar biaya
perkara.
(2) Dalam hal terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum, biaya perkara dibebankan kepada negara.
(3) Dalam hal terdakwa sebelumnya telah mengajukan
permohonan pembebasan dari pembayaran biaya perkara berdasarkan syarat tertentu
dengan persetujuan pengadilan, biaya perkara dibebankan pada negara.
Kesimpulan:
Menurut saya, dalam memproduksi sebuah film tentang pahlawan
bangsa ada baiknya meminta izin terlebih dahulu kepada keluarga atau
kerabatnya, selain itu, adegan-adegan yang ada di dalam film tersebut harus
benar dan sesuai dengan kenyataan karena nantinya penonton akan menilai sifat
dan sikap dari tokoh tersebut. Adegan-adegan di dalam film seharusnya juga
sudah mendapatkan izin dari keluarga atau kerabat terdekat untuk disiarkan agar
nantinya tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Komentar
Posting Komentar